Saatnya HATI NURANI bicara


Upaya Perlindungan Anak dari Kekerasan by ratna ariani
October 28, 2008, 9:31 am
Filed under: artikel | Tags: , , , , , ,

Hadirnya Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002, sebagai hukum positif yang memberi jaminan perlindungan anak, semestinya cukup membuat lega bagi orang tua dan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah anak di Indonesia.

Namun realitasnya, jaminan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih “sebatas idealitas”.

Bahkan Kak Seto mengaku prihatin terhadap perlindungan anak di Indonesia sebagaimana yang diatur UUPA No 23 tahun 2002, pelaksanaannya jauh dari harapan semua pihak. Pelaksanaan UU tersebut, saat ini mungkin hanya dilaksanakan baru sekitar 20 % saja. Fenomena kekerasan terhadap anak, dengan berbagai bentuknya nampaknya masih menjadi tren yang terus meningkat dalam masyarakat. Bebarapa data tentang kasus kekerasan yang dicatat oleh beberapa lembaga, sebagai berikut:

1) YKAI mencatat 172 kasus (1994), 421 (1995), 476 (1996).

2) PKT-RSCM tahun 2000 – 2001 mencatat 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga (37,5 %), pacar (23 %), kenalan (9,5 %), saudara (7 %), ayah kandung (5 %), majikan/atasan (2,5 %), ayah tiri (1 %), suami (1 %) dan orang tak dikenal (13,5 %).

Waktu terjadinya kekerasan pada korban anak usia kurang dari 11 tahun antara pukul 06.00-12.00 dan kekerasan dilakukan pada malam hari untuk korban berusia 15-18 tahun.

3)Komnas PA, mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004, dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.

4)KPAI sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian sebagai berikut: Hak kuasa asuh dan pengangkatan anak (21,8 %), Hak identitas (17,28 %), hak kesehatan dan kesejahteraan (13,56 %), Tindak kekerasan terhadap anak (12,50 %), Hak pendidikan (11,17 %), Penelantaran (10,90 %), Pelecehan seksual terhadap anak (10,30 %), Penculikan anak (2,39 %).

5) KPAID Kalsel sampai 2008 telah menerima 25 kasus anak, yakni 76 % anak sebagai korban dan 24 % anak yang berkonflik dengan hukum. Dari data tersebut maka 63 % korban adalah anak perempuan dan 37 % laki-laki, berdasarkan jenis kasus: kekerasan seksual 36 %, kekerasan fisik 12 %, kekerasan psikis 4 %, pengasuhan anak 12 %, penelantaran 16 %, kasus lainnya 20 %. Teridentifikasi pula semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh korban.

Semua data yang tercatat oleh lembaga di atas tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dalam masyarakat. Data tersebut adalah kasus anak yang dilaporkan kepada lembaga. Sehingga, para pengamat mengindikasikan jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat kemungkinan lebih besar.

Berita kasus anak yang diungkapkan pekerja media juga masih sebatas kasus yang masuk ke dalam catatan aparat penegak hukum. Belum lagi jika diamati dari kasus anak yang ditindaklanjuti ke ranah hukum, berapa besar yang dapat diselesaikan secara adil sesuai amanat UUPA No. 23 tahun 2002?

Padahal secara jelas UUPA telah mengatur perlunya hak-hak anak untuk dilindungi secara hukum (hak hidup, tumbuh, dan berkembang; identitas; beribadah; kesehatan; jaminan fisik, mental, spiritual, sosial; pendidikan dan pengajaran; didengar pendapatnya; perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan lain-lain). Dalam hal ini, kewajiban dibebankan kepada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Menjadi tanda tanya besar, mengapa aturan yang sedemikian bagus tersebut hanya sebatas wacana karena realitas yang kita lihat banyak anak Indonesia masih tidak terpenuhi hak-hak dan perlindungannya dari kekerasan dan penelantaran. Mengapa setelah lima tahun lebih berlakunya UUPA, kondisi anak relatif belum membaik? Mengapa pasal demi pasal yang sedemikian “cantik” dalam mengatur hak-hak anak, belum mampu mengatasi realitas semakin terpuruknya anak-anak Indonesia?

Salah satu penyebabnya adalah belum berpihaknya penegak hukum terhadap anak-anak. Sebagai contoh banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak dipandang sebagai tindak kriminal biasa seperti terhadap orang dewasa, karena menggunakan pasal-pasal pelanggaran KUHP dan bukan UUPA No. 23 Tahun 2002. Sehingga efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak dari sanksi hukum belum dirasakan. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan bangsa kita dalam memecahkan masalah tidak sistematis, parsial dan tidak berpihak anak yang pada hakikatnya merupakan generasi penerus bangsa.

Tidak ditegakkannya hukum secara maksimal dan proporsional menjadi latar tidak terurainya berbagai masalah anak di Indonesia. Di samping itu, akar dari berbagai masalah yang muncul (baik anak sebagai korban) ataupun (anak sebagai palaku) adalah karena banyaknya anak yang tidak dimanusiakan oleh orang dewasa yang sepatutnya menjadi teladan dan pembimbing bagi anak yang secara psikologis dalam masa perkembangan, mulai dari lingkungan komunitas terkecil (keluarga), sekolah, masyarakat, sampai lingkungan terbesar (negara).

Dalam UUPA dan Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Karena memang secara psikogis anak pada hakikatnya adalah seseorang yang berada pada suatu fase perkembangan tertentu menuju dewasa dan mandiri. Karenanya, anak bukanlah sosok manusia dewasa dengan fisik yang masih kecil. Anak adalah anak, dengan karakteristik psikologisnya yang khas dalam masa tumbuh dan berkembang.

Adanya pentahapan menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan- kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya.

Oleh karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dan perlindungan dari orang dewasa (orang tua, pendidik, dan pihak lainnya). Dengan alasan itu pula UUPA dibuat untuk melindungi anak Indonesia.

Karakteristik yang dimiliki anak sangat penting untuk diketahui dan dipahami, agar anak dapat dididik, dibimbing dan dilindungi sesuai dengan keberadaannya yang khas dan unik. Beberapa karakter yang khas melekat pada umunya anak adalah: banyak bergerak, suka meniru, suka menentang, belum dapat membedakan yang benar dan salah, banyak bertanya, memiliki ingatan yang tajam dan otomatis, menyukai dorongan semangat, suka bermain dan bergembira, suka bersaing, berpikir khayal, perkembangan bahasanya cepat, berperasaan tajam, dan belum ajeg dalam pendirian.

Belum lagi perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan berbagai latar keluarga dan orang tua akan turut berperan dalam pembentukan karakter anak secara individual.

Tindak kekerasan dan penelantaran terhadap anak berdampak buruk bagi tumbuh dan kembang mereka secara optimal serta akan menyebabkan anak memiliki masalah-masalah dalam tahapan perkembangnya di masa dewasa. Harus dipahami oleh orang dewasa (orangtua, pendidik, penegak hukum dan pihak lainnya) bahwa kekerasan dan penelantaran pada anak akan menimbulkan dampak kerusakan secara fisik, emosional dan traumatis, seperti dampak kesehatan secara umum (luka fisik hingga cacat), mengalami kesulitan belajar, konsep diri yang buruk, rendah diri, tidak memiliki kepercayaan pada orang lain, dan menutup diri.

Bahkan kekerasan pada anak dapat menyebabkan anak bertingkah laku agresif, atau depresi, tidak mampu bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya, memunculkan tingkah laku bermasalah dan menggunakan obat-obatan terlarang, bertingkah laku menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Anak korban kekerasan juga cenderung akan menjadi pelaku kekerasan setelah mereka dewasa.

Sumber:  [Radarbanjar] – Suryadi

__._,_.___


1 Comment so far
Leave a comment

Support terus untuk pihak para pahlawan anak.

http://the-onlineretail.com/others/red-pepper-spray-american-defender/

Comment by London




Leave a comment